Rabu, 29 September 2010

anak - anak mengikuti perbuatan orang tuanya


Anak-Anak Mengikuti Perbuatan yang Dilakukan Orangtua

Diketik ulang oleh: Ummu ‘Aisyah
Seorang anak yang melihat ayahnya selalu berzikir dan bertahlil, bertahmid, dan bertasbih, maka dia pun akan mudah untuk mengucapkan: Laa ilaaha illalloh, Subhanallah, dan Allahu akbar.

Begitu pula seorang anak yang dibiasakan untuk mengirim sedekah pada malam hari karena diutus oleh orangtuanya kepada fakir miskin secara rahasia, jelas akan berbeda dengan seorang anak yang disuruh oleh orangtuanya pada malam hari untuk membeli narkoba atau rokok.
Seorang anak yang selalu melihat ayahnya berpuasa senin dan kamis, ikut serta dalam shalat berjama’ah di masjid jelas akan berbeda dengan seorang ayah yang melihat ayahnya berada di tempat perjudian atau bioskop serta tempat-tempat hiburan yang lainnya.
Anda akan melihat seorang anak yang selalu mendengarkan suara adzan mengulang-ngulang lantunan adzan, dan Anda akan melihat seorang anak yang selalu mendengarkan lagu yang dilantunkan orangtuanya, melantunkannya pula.
Sungguh indah andaikata seorang ayah adalah pribadi yang slelu berbuat baik kepada kedua orangtuanya dengan berdo’a untuk mereka dan memohon ampunan kepada Allah bagi keduanya, selalu menanyakan keadaannya dan tenang berada bersama keduanya, selalu memenuhi kebutuhan keduanya dan memperbanyak berdo’a dengan ungkapan:
Robbigh firli waliwali dayya
“Ya Allah ampunilah aku dan kedua orangtuaku”
Dia akan selalu mengucapkan:
Robbbirhamhuma kama robbayani shoghiro
“Ya Allah, kasihanilah mereka berdua sebagaiaman mereka telah mendidikku diwaktu kecil”
Dia pun berziarah ke makam kedua orangtuanya, bersedekah untuk keduanya, menghubungkan kekerabatan dengan orang-orang yamg dekat dengan keduanya, juga memberi kepada orang-orang yang selalu diberi oleh keduanya.
Jika seorang anak melihat perangai orangtuanya yang sedemikain, maka dengan izin Allah anak itu akan meniru apa yang dilakukan orangtuanya. Dia akan selalu memohon kepada Allah ampunan bagi kedua orangtuanya, dan sealu melakukn sesuatu yang biasa dilakukan oleh kedua orangtunya kepada kakek dan neneknya.
Seorang anak yang dididik shalat oleh orangtuanya jelas akan berbeda dengan seorang anak yang biasa diajarkan menonton film, musik atau sepak bola.
Sesungguhnya jika seoarang anak melihat kedua orangtuanya melakukan shalat malam dengan menangis karena takut kepada Allah juga dengan membaca alqur’an, niscaya dia akan berfikir kenapa ayahnya menangis? Kenapa dia melakuakn shalat? Dan kenapa dia meninggalkan tempat tidur yang empuk lagi hangat? Kenapa dia memilih air wudhu yang dingin ?!
Kenapa dia meninggalkan tempat tidurnya dengan memilih memohon kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap?
Semua pertanyaan ini akan selalu tertanam di dalam pikiran seorang anak dan selalu memikirkannya yang pada akhirnya si anak dengan izin Allah akan meniru apa saja yang dilakukan oleh kedua orangtuanya.
Demikian pula anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhijab dan menutup diri dari laki-laki lain, dia telah dihiasi dengan rasa malu dan sikap menjaga kehormatan, kesucian dirinya telah menjadikan dirinya mulia. Jika ibunya demikian niscaya anaknya juga akan belajar menanamkan rasa malu, menjaga kehormatan dan kesucian dari ibunya. Sedangkan anak perempuan yang melihat ibunya selalu berhias diri di depan setiap laki-laki, bersalaman, dan bercampur baur, tertawa dan tersenyum dengan laki-laki lain bahkan berdansa dengan mereka, maka anaknya pun akan belajar yang demikian itu darinya.
Maka bertakwalah kalian wahai para ibu dan ayah! Jagalah anak-anak kalian, dan jadilah kalian sebagai suri tauladan bagi mereka dnegna perangai yang baik dan tabiat yang mulia. Sebelum itu semua, jadilah kalian sebagai suri tauladan dengan memegang teguh agama Allah juga Nabi-Nya.
Maroji’:
Ensiklopedi Pendidikan Anak hal 38 (Fiqh Tarbiyatil Abnaa’ wa Thaa-ifatun min Nashaa-ihil Athibba’), Mushthafa al-’Adawi
***
Artikel www.muslimah.or.id

pemberdayaan perempuan


Warta:  Arsip Artikel
Kirim | Daftar | Arsip | Cetak
Pontianak, 2 Mei 2007
Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial

Dalam harian Kompas beberapa waktu lalu disebutkan, komitmen Indonesia dalam melaksanakan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals atau MDG’s) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi terakhir, hanya dapat disejajarkan dengan Myanmar dan negara-negara Afrika umumnya.
Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di dasawarsa 70-an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan sejumlah mahasiswa ke berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak ke Pertamina. Jadilah University of Malaysia dan Petronas seperti sekarang, meninggalkan jauh “guru”-nya.
Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol ialah tentang kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator MDG’s.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan organisasi wanita barat mem-booming pada dasawarsa kedua di abad ini. Hal tersebut direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara Indonesia sendiri.
Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat sering dituding menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria. Demikian pula penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi pembenaran bahwa kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam segala aspek dan bidang kehidupan.
Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan, respon perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan masyarakat Indonesia.
Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi kerakyatan. Program IDT disusul dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan infrastruktur pedesaan. Selanjutnya “dikawinkan” melalui program PPK yang menangkap kedua program (ekonomi dan infrastruktur) yang dikenal dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan sejenis untuk di perkotaan dengan nama P2KP.
Namun, sebenarnya yang membedakan adalah payung besarnya. PPK melalui Kementrian Dalam Negeri, dan P2KP melalui Departemen Pekerjaan Umum, meski keduanya sama-sama menyitir pemberdayaan perempuan sebagai salah satu isunya.
Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial budaya ke suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan sosial budaya, seperti yang dikatakan Antropolog dan peneliti senior LIPI EKM Masinambow, merupakan suatu proses perubahan yang mencakup, antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada, menggantikannya, mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang kemudian berdiri berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada.
Kembali ke masalah pembangunan yang berwawasan gender (Gender Equitable Development atau GED) yang di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan pembangunan yang tak berkelanjutan. Ahli Community Capacity Building lulusan Columbia University (AS), Aisyah Muttalib mengatakan, GED adalah suatu transformasi untuk men-gender-kan (en-gender) ekonomi hingga akan terwujud suatu tatanan ekonomi baru, di mana pemerataan gender dipegang sebagai suatu nilai yang paling mendasar.
Ekonomi baru seperti inilah yang telah dijalankan oleh seluruh wanita di dunia secara otomatis sebagai kodrat kewanitaannya. Mereka mengelola sumber daya demi mempertahankan segalanya. Bukan saja kehidupan diri, tapi juga keluarganya, masyarakat, dan anak-anak yang dilahirkannya. (Tety Hartya, Praktisi Pemberdayaan Perempuan/Ari Hariadi, mantan Community Development & Women In Development NTT-WRDS CIDA, KMW I P2KP-2 Kalbar; Nina)
(dibaca 2989)

pemberdayaan anak jalanan


Pemberdayaan Anak jalanan Berbasis Keluarga

Pemberdayaan Anak jalanan Berbasis Keluarga

Sumber: Suara Karya
Tanggal: 07-12-2004
Halaman: 06
Anak jalanan merupakan fenomena perkotaan yang kompleks dan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya. Fenomena permasalahan tersebut disebabkan berbagai faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik ditambah dengan nuansa reformasi serta mencuatnya konsep HAM, gaya hidup individualist materialisiik, konsumeristik serf a kebijakan pemerintah yang tidak saling sinergi dan tidak berkoodinasi antar departemen.
Lingkungan perkotaan yang kumuh juga membuat sebagian anak twin ke jalan. Merebaknya anak jalanan juga diakibatkan oleh kegagalan sistem pendidikan yang cenderung kapitalislik, tidak banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin dan marjinal. .
Memang, kehadiran anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota-kota besar. Anak jalanan merupakan fenomena kola besar di mana saja Semakin cepat perkembangan sebuah kota semakin cepat pula peningkatan jumlah anak jalanan.
Namun banyaknya anak jalanan yang menempati fasilitas-fasilitas umum di kota-kota, bukan melulu disebabkan oleh faktor penarik dari kota itu sendiri. Sebaliknya ada pula faktor-faktor pendorong yang menyebabkan anak-anak memilih hidup di jalan. Kehidupan rumah tangga asal anak-anak tersebut merupakan salah satu faktor pendorong penting.
Banyak anak jalanan berasal dari keluarga yang diwarnai dengan ketidakharmonisan, baik itu perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, absen nya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya. Hal ini kadang semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan fisik atau emosional terhadap anak. Keadaan rumah tangga yang demikian sangat potensial untuk mendorong anak lari meninggalkan rumah.
Dirjen Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Depsos, dr Pudji Hastuti Msc PH. mengungkapkan, 150.000 anak jalanan di berbagai kota besar di Indonesia bekerja dan hidup di jalan-jalan. Mereka tidak memiliki rumah tinggal dan tidak terlindungi. “Data ini jauh lebih besar tiga kali lipat dari data yang mampu dihimpun Depsos padalahun2000yaitusekilar 50.000 anak dari 12 kota besar,” kata Pudji.
Pudji juga memperkirakan, sekitar 40.000- 70.000 anak, terutama anak perempuan, di eksploitasi secara seksual dan teikat dengan jaringan protitusi anak. Mereka adalah bagian dari 6 juta anak Indonesia yang berusia 6-15 tahun yang tidak pernah sekolah atau putus sekolah.
Sekitar 4000 anak juga terlibat dalam kriminilitas dan di penjara tanpa ada jalan keluar dan alternatif lainnya. Sementara 120.000 anak terlibat dalam penyalah-gunaan narkotika dan zat aditif. Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2000 mencatat pula jumlah anak jalanan ibu kota mencapai 11.000 orang, sementara anak terlantar ada sekitar 18.000 orang. “Meningkatnya jumlah anak jalanan ini karena kemiskinan masih membelenggu kehidupan keluarga mereka,” kala dr Pudji Hastuti Msc PR
Depsos sendiri menurut Pudji, terus melakukan upaya untuk menanggulangi anak jalanan. Namun, upaya yang telah dilakukan. Depsos kalah cepat dengan meningkatnya anak jalanan seiring dengan masih menderanya krisis multidimensi di Indonesia ini. “Depsos telah berbuat banyak. Hanya saja, metode penanganan anak jalanan yang lalu perlu di revisi dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan anak jalanan itu,” katanya.
Depsos berkomitmen memberikan yang terbaik dalam menanggulanginya. Paling tidak menekan jumlah anak jalanan itu. Depsos makin membangun 6 rumah singgah untuk anak jalanan di 6 kota besar di Indonesia. Anak jalanan yang tinggal di rumah singgah itu nantinya benar-benar yang tidak memiliki orang tua.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Tim Peneliti Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan Pusat penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Badan pelatihan dan Pengembangan Sosial Depsos (PPP-UKS Balat bangsos) melakukan penelitian mengenai “Model Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Keluarga” (Studi Kasus di 3 Kota Tangerang, Bandung, dan Surabaya).
Masalah anak jalanan ini menjadi salad satu topik seminar hasil penelitian masalah sosial di Indonesia dengan tema “konsepsi dan strategi penanganan konflik sosial dan kemiskinan” yang digelar di Depsos, pekan lalu.
Mufidz Tim Peneliti dari UMJ dalam seminar itu mengemukakan, berdasarkan UUD 1945 pasal 34, anak terlantar dipelihara oleh negara. Artinya, pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan.
UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Keputusan Presiden RI No 36 tahun 1990 tentang pengesyahan Convention, of the Rights of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) juga menegaskan bahwa anak-anak mempunyai hak-hak yang kurang lebih sama dengan hak-hak asasi manusia. pada umumnya. Sehingga mereka berhak hidup layak dan manusiawi.
Hasil penelitian tentang anak jalanan pada tahun 2003, menurut Mufidz, menunjukkan bahwa kegagalan pemerintah dan masyarakat dalam menangani anak jalanan disebabkan oleh minimnya perhatian semua pihak terhadap eksistensi keluarga sebagai penanggung jawab utama anak jalanan. Perhatian khusus terhadap keluarga sebagai basis pemberdayaan selama ini tampaknya belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak,” katanya.
Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa penanganan anak jalanan perlu dilakukan dengan pendekatan multi system, yang; melibatkan semua pihak secara terpadu.ini mengingat persoalan anak jalanan merupakan persoalan yang kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu pendekatan saja.
Pemerintah RI melalui Depsos dan jajarannya sebenarnya telah berupaya menangani anak jalanan dengan regulasi, pengalokasian dana, fasilitas pelayanan hingga penyediaan fasilitas rumah singgah, “Namun, kompleksitas permasalahan dan jumlah anak jalanan yang terus meningkat menyebabkan hasil penanganan anak jalanan masih belum optimal dan efektif. karena belum mempunyai model penanganan yang jelas, sistematik, dan komprehensif,” katanya.
Menurut Mufidz, anak jalanan tentu bukan, merupakan panggilan dan pilihan hidup yang menyenangkan. Sebab, hampir pasti anak akan tumbuh berkembang secara tidak wajar. Hak asasi mereka, seperti hak mendapatkan pendidikan, perlindungan, kasih sayang dan sebagainya, pada umumnya tidak terpenuhi dengan baik.
Keluarga dari anak jalanan pada dasarnya merupakan akar persoalan karena pihak keluarga “kurang bertanggung jawab” dalam mengemban anak sebagai amanat dan anugerah Tuhan. “Keluarga menjadi kurang bertanggung jawab dan kurang perhatian terhadap anaknya antara lain disebabkan oleh faktor ekonomi. Pendapatan keluarga tidak cukup untuk membiayai dan menumbuhkembangkan anak-anak secara layak,” kalanya seraya menambahkan secara teoritik solusinya adalah pemberdayaan ekonomi keluarga.
Dari 10 keluarga yang diteliti di Tangerang, mereka umumnya berusia antara 30-50 tahun, beragama Islam, pernah mengenyam pendidikan meskipun hanya pada tingkat SD dan ada juga yang sampai SMA. Tingkat pendapatan mereka antara Rp 10.000 – Rp l5.000 per hari dengan pengeluaran Rp 10.000 – Rp 15.000 per hari. Sumber penghasilan diperoleh melalui berjualan dan lainnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dari 10 keluarga tersebut, empat keluarga tinggal dalam rumah petak/kontrakan yang disewa antar Rp 150.000-200.000 per bulan. Sementara keluarga lainnya telah memiliki rumah sendiri meskipun ukurannya kecil antara 30 m2-40m2. Domisili mereka di sekitar Desa Kedaung, Desa Serua Indah. Desa Cipayung yang berada di kecamatan Ciputat, Tangerang.
Persoalan pemberdayaan ekonomi pun muncul. Bagaimana memberdayakan, ekonomi mereka padahal tidak semua, keluarga memiliki, keterampilan kerja? Salah satu alternatif jawabannya adalah pemberian pelatihan dan program pendampingan disertai dengan pemberian bantuan modal usaha yang relevan dengan kondisi sosial lingkungan tempat mereka hidup.
Dengan pelatihan dan pendampingan melalui usaha ekonomi produktif, mereka bisa memperoleh tambahan penghasilan Jika usaha mereka makin maju, penghasilan mereka pun akan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Dan, pada gilirannya mereka diberdayakan untuk dapat memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.
Melalui pelatihan dan pendampingan yang berwira usaha produktif selama kurun waktu tertentu, diharapkan dalam jangka waktu tertentu pula mereka menjadi keluarga mandiri dan sejahtera. Dengan demikian model serupa dapat ditularkan kepada keluarga lainnya secara terprogram dan berkelanjutan.
Dalam seminar itu dibahas pula dua hasil penelitian masing-masing Uji coba Model Kedamaian Sosial Di Wilayah Rawan Konflik, kerja sama PPP UKS Balatabangsos Depsos dengan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Uji coba Model Pemandu Studi Kasus pemandirian Masyarakat Miskin Terpadu kerja sama BPP UKS Balaibangsos Depsos dengan STKS Bandung.